Pameran yang ditampilkan berupa benda hasil penelitian arkeologi seperti fragmen gerabah, kaca, manik-manik, logam, alat batu, koin kuno, botol zaman kolonial, mangkok temuan bawah air, replika rangka manusia prasejarah, foto dan lukisan bertema budaya serta stand pameran buku koleksi Balar Sumut dan buku koleksi dari Balai Bahasa Sumut.Kegiatan ini juga dimeriahkan oleh grup musik uning-uningan Sitopaksada.
Acara diawali dengan pembukaan pameran dan diskusi budaya yang berlangsung di ruang pertemuan utama Balar Sumut.
Pada kesempatan itu, Dr. Ketut Wiradnyana, M.Si selaku Kepala Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Utara membuka kegiatan dan menyampaikan bahwa pelaksanaan Pameran dan Diskusi Budaya dalam rangka memperingati Hardiknas yang diadakan di Balar Sumut dan terselenggara secara sederhana karena mengingat masih dalam kondisi pandemi covid-19.
Dalam pelaksanaanya, Ketut menghimbau untuk tetap mematuhi protokol kesehatan yang diterapkan seperti, selalu memakai masker, menjaga jarak antar pengunjung, dan rajin mencuci tangan, dengan menerapkan disiplin kesehatan semoga semua yang hadir disini selalu diberi kesehatan dan keselamatan.
"Kesederhanaan pelaksanaan kegiatan Hardiknas diharapkan tidak mengurangi makna Hardiknas itu sendiri, terlebih kaitannya dengan pameran dan materi arkeologis yang terbatas diharapkan mampu menjadikan inspirasi bagi pengembangan berbagai pengetahuan atau juga turut mendukung konsep merdeka dalam belajar-belajar, " kata Ketut.
Pemeran arkeologi yang didukung dengan pameran lukisan diharapkan dapat meningkatkan apresiasi masyarakat atas keberadaan instansi dalam melaksanakan berbagai penelitian, atau paling tidak, pameran benda arkeologi dapat menjadi inspirasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan lainnya.
Diskusi budaya yang dilaksanakan menyangkut tari hoda hoda yang dalam kondisi menjelang punah yang menjadi satu bahasan penting untuk didiskusikan serta direvitalisasi keberadaanya.
Perlu diketahui bahwa tari hoda-hoda sebenarnya ada di lingkup masyarakat seluruh wilayah Danau Toba, tetapi kondisinya memprihatinkan. Maka dari itu, melalui diskusi ini diharapkan dapat menampung ide, saran, aspirasi untuk menyelamatkan keberadaan tari hoda-hoda tersebut.
Kemudian kegiatan dilanjutkan dengan diskusi budaya, dalam pelaksanaannya menghadirkan dua narasumber yakni, Kawan Pandiangan, S,Sn selaku peneliti tari hoda-hoda, dan Thompson Hs selaku pegiat budaya daerah.
Thompson Hs, selaku narasumber pertama memaparkan materinya dengan judul “Warisan Budaya” dan menyampaikan beberapa hari yang lalu tepatnya pada tanggal 17-29 April 2021 bersama tim peneliti Balai Arkeologi Sumatera Utara melakukan penelitian di dua desa di Kenegerian Limbong. Kedua desa tersebut adalah Desa Sari Marrihit dan Desa Sikkam. Ada tiga desa lainnya yang menjadi bagian dari Kenegerian Limbong, yaitu: Boho, Sipitudai, dan Habeahan. Dulu sebelum menjadi salah satu kenegerian, Limbong menyatu dengan Sagala. Sagala juga praktis menjadi satu kenegerian pada masa kolonial. Namun jauh sebelumnya keduanya tercakup dalam satu ungkapan Sianjur Mulamula. Demikian setelah kemerdekaan kembali menyatu dalam administrasi Kecamatan Sianjur Mulamula.
Ada rekaman sastrawi tentang ungkapan Sianjur Mulamula melalui: Sianjur Mulamula sianjur mula tompa, mula ni ruma ijuk mula ni ruma gorga mula ni roha marbisuk mula ni jolma marroha (Sianjur kampung terawal desa bermula, awal dari rumah beratap ijuk dan berukir, awal dari hati nan arif dan bijaksana). Rekaman itu hingga kini masih sering disampaikan sebagai pengantar untuk meminta repertoar gondang mulamula (awal tarian). Ungkapan itu juga mungkin saja disampaikan dalam tonggotonggo (doa pujaan) oleh parbaringin (pendeta upacara), sebagaimana kemudian doa pujaan yang berkembang tentang Bakara: … Bakara na mardindinghon dolok na marhirehirehon ombun (… Bakara yang berdindingkan gunung dan bertiraikan embun).
Sianjur Mulamula dan Bakara menjadi dua contoh warisan alam karena keindahan lembah dan lahan pertaniannya yang berlimpah dengan sumber-sumber air. Demikian dengan beberapa tempat lainnya di kawasan Danau Toba dan Samosir, seperti di Sabulan sebagai bagian dari kawasan Ulu Darat. Hasil pertanian dapat menopang berbagai upacara, ritual, adat, dan hidup sehari-hari penduduk yang tinggal di sana. Horja bius adalah upacara tahunan yang terkait dengan pertanian dan dilaksanakan oleh federasi kampung. Kampung sebagai hunian menjadi penting dalam konsep pengelolaan warisan alam karena warisan alam dapat memberikan pengaruh besar untuk perkembangan manusia dan budayanya.
Bentuk-bentuk ritual dilakukan oleh kelompok marga atau klan, seperti mandudu dan manganjab. Sekaligus untuk meminta dan menghormati alam seperti dalam ritual mangarontas. Sedangkan praktik adat berlangsung untuk mengesahkan hubungan kekerabatan. Lalu, keseharian berlangsung sebaik mungkin dengan aturan-aturan yang sudah ada dan berevolusi.
Kemudian narasumber kedua memaparkan materi dengan judul “Tari Monsak Hoda Hoda Sebuah Tarian Yang Terlupakan di Samosir” dalam paparannya menyampaikan tari hoda hoda bersifat fleksibel karena ada berbagai istilah nama dari tari itu sendiri, ada yang menyebut tortor hoda-hoda dengan sebutan tortor monsak hoda-hoda dan tortor topeng hoda-hoda, mungkin masih banyak lagi istilah lain dalam menyebutkan tarian ini.
Untuk sementara ini, disebutkan dengan istilah tari monsak hoda hoda berdasarkan sebutan yang dilakukan oleh turunan Siraja Sonang, jadi turunan Siraja Sonang menyebut tarian ini dengan istilah tari monsak hodahoda. Kemudian yang kedua melihat tarian ini ada unsure yang terkandung didalamnya yang pertama tarinya tortor dan pencaknya monsak dalam permainan ini.
Monsak ini secara umum bisa diartikan sebagai seni beladiri yang berasal dari wilayah Batak Toba. Perlu diketahui bahwa monsak ini juga ada dibeberapa subetnis, ada di Karo namnya dikar di Simalungun namanya dihar mardihar kemudian di Mandailing atau Angkola disebut dengan istilah muncak.
Prof. Robert Sibarani pernah menyaksikan upacara marmosak dan menyampaikan monsak sebagai gerakan di luar kesadaran manusia artinya seseorang yang melakukan marmosak melakukan gerakan yang tidak biasa dilakukan oleh orang lain. Dalam pelaksanaan upacara ini dibutuhkan kesiapan fisik, kebersihan hati, kesiapan bathin dan ketangkasan.
Di lingkungan etnis Batak Toba sendiri ada berbagai istilah monsak antara lain, monsak here atau meniru gerakan kera, monsak ulog gerkan ular dan monsak babiat gerakan harimau.
Usai pemaparan oleh kedua narasumber, kegiatan ini dilanjutkan dengan membuka sesi diskusi atau tanya jawab dengan tujuan untuk memberikan ruang bagi peserta yang notabene berasal dari pemerhati budaya dan steakholder terkait untuk menanyakan hal-hal yang ingin diketahui sekaligus memberikan tanggapan ataupun tambahan-tambahan informasi terkait tari monsak hoda hoda sebagai tinggalan budaya nenek moyang yang harus dilestarikan keberadaannya. (Ril/MMN)