Pukat Harimau di Pesisir Pantai Barat Mandailing Natal Rugikan Nelayan Tradisional
Maraknya Pukat Harimau di Singkuang, Nelayan Tradisional Rugi Ratusan Juta Rupiah

Sebuah kapal pukat PI yang sedang menangkap ikan di perairan laut Singkuang, Muara Batang Gadis, Mandailing Natal belum lama ini. (Foto/Istimewa dari GnSingkuang untuk sumutnews.co.id)
SUMUTNEWS | MANDAILING NATAL - Nelayan-nelayan tradisional di Pesisir Pantai Barat Mandailing Natal, khususnya di Desa Singkuang dan Sikapas terus memprotes penggunaan alat penangkap ikan pukat harimau atau trawl oleh nelayan modern. Pengakuan ini dituturkan seorang nelayan bernama Tamrin Nasution.
Ia mengatakan bahwa penggunaan alat tangkap pukat harimau sangat merugikan nelayan tradisional dan juga berdampak negatif terhadap lingkungan, terutama perusakan ekosistem yang ada di laut.
Selain itu, pukat harimau juga merusak rawai, jaring, dan rabo (rumpun, alat pemancing ikan, red) yang sengaja mereka pasang untuk memancing ikan agar mendekati rumpun. Biaya pembuatan rawai, jaring dan rumpun mencapai jutaan rupiah.
Jika ditaksir, kerugian total nelayan tradisional di Singkuang mencapai ratusan juta rupiah.
"Biaya pembuatan rumpun ikan dan cumi ini mencapai ratusan ribu rupiah. Rumpun yang saya dimiliki ada 50 rumpun selama 2 tahun ini. Kini hanya tinggal 3 rumpun saja," jelas Tamrin yang juga anggota BPD Singkuang II ini ketika dihubungi sumutnews.co.id, Selasa, 22 Juni 2021.
Sementara itu, Kepala Desa Singkuang II Sauban Hasibuan mengatakan bahwa pukat harimau yang masuk ke wilayah Singkuang II dan Singkuang I terkait penangkapan ikan di laut sangat keberatan atas masuknya kapal pukat harimau. Ia menilai sangat merugikan nelayan di dua desa tersebut.
Pukat harimau tonase kecil dari Desa Tabuyung dan Sibolga juga merugikan nelayan tradisional di Singkuang. Padahal, kedua desa itu telah melakukan mediasi dan musyawarah mufakat yang disaksikan pihak Polisi Air (Polair) Mandailing Natal, camat, pihak Polsek Muara Batang Gadis, BPD dan tokoh masyarakat di kedua desa.
"Pukat harimau yang masuk ke wilayah Singkuang dalam hal pengkapan ikan di laut sangat merugikan nelayan. Dan prioritas Desa Tabuyung, meskipun ada juga dari Natal," tuturnya saat dihubungi jurnalis melalui WhatsApps, (22/06).
Ia juga berharap agar para pemukat dapat menaati perjanjian yang disepakati kedua desa yang disaksikan Polisi Air (Polair) Mandailing Natal, camat, Polsek Muara Batang Gadis, BPD, dan tokoh masyarakat beberapa tahun lalu.
"Saya berharap supaya mereka mentaati perjanjian yang sudah disepakati bersama antara kedua desa, " tandas alumni Pondok Pesantren Al-Abror ini.
Ancaman Trawl dan Pukat Harimau
Dikutip dari VOA Indonesia, Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Dana Prima Tarigan dalam sebuah diskusi daring bertema "Melawan Ancaman Trawl dan Alat Tangkap Perusak Laut", Selasa 23 Juni 2020 lalu.
Dana Prima Tarigan mengatakan, nelayan tradisional di Sumut sejak tahun 1980 sudah berkonflik dengan nelayan yang menggunakan pukat harimau. Kendati dilarang, namun lemahnya pengawasan membuat pukat harimau masih kerap digunakan nelayan modern.
"Persoalannya ada di pengawasan dan penindakan hukum. Sedangkan alat tangkap ikan perusak (pukat harimau) saja dilarang oleh regulasi tapi masih berlangsung, berarti pengawasannya sangat lemah," tuturnya.
Hal tersebut menjadi faktor yang membuat para nelayan tradisional kalah bersaing dalam mencari ikan.
"Peluang untuk meningkatkan jumlah tangkapan nelayan melalui trawl serta cantrang itu sebaiknya ditunda dan tidak diberlakukan," ungkap Dana, Selasa 23 Juni 2020 lalu. [AA/MMN]
Editor :Faisol